Sejak tahun kemarin memang bukan waktu terbaik bagi Renault. Mereka telah rugi sebesar US$ 9,7 miliar atau Rp 136,4 triliun tahun lalu dan terancam makin buruk untuk tahun ini.
Pasalnya, masalah ini berasal dari kurangnya pasokan chip elektronik untuk produsen mobil tersebut. Peringatan itu sampaikan Chief Executive Renault, Luca de Meo yang baru menjabat Juli tahun lalu.
Namun dia mengharapkan paruh kedua 2021 sudah membaik. Menurutnya saat itu isu kekurangan chip sudah mereda.
Lanjutnya, jika pihaknya telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengantisipasi serta mengatasi isu tersebut. Menurutnya masalah kekurangan chipset ini bisa mempengaruhi produksi 100 ribu kendaraannya.
Luca memang saat ini sedang mencari metode untuk meningkatkan keuntungan serta penjualan di perusahaannya. Lepas dari itu, mereka juga melakukan pemotongan keuangan dengan adanya tanda awal peningkatan margin pada paruh kedua tahun lalu.
Mereka juga sedang menghadapi masalah baru dengan Uni Eropa melakukan pengetatan aturan emisi. Perusahaan mereka harus menghadapi rival PSA dan Fiat Chrysler yang bekerja sama membuat produsen mobil terbesar keempat dunia, Stellantis.
Sebenarnya, Kerugian Renault ini sudah terjadi pada 2019 yakni 141 juta euro atau Rp 2,4 T. Kemudian setahun berikutnya harus menghadapi kesulitan produksi tersendat dan menutup dealer akibat lockdown Covid-19.
Selain itu, pandemi juga merugikan mitra Renault di Jepang, Nissan. Sepertinya memang tahun 2020 memukul hampir semua produsen mobil di seluruh dunia.
Namun kelihatannya rebound sedang terjadi, yakni penjualan untuk mobil premium di China akhir tahun lalu membantu perusahaan seperti Volkswagen dan Daimler untuk mengatasi masalah.